Monday, November 10, 2008

Memahami Akar-Akar Konspirasi Liberalisme

Usia liberalisme bisa dikatakan seumur dengan usia moderanisme di Barat, karena gagasan ini muncul seiring meletusnya Renaissance di Barat. Renaissance menjadi landasan lajunya gaya berpikir liberal, karena manusia Barat waktu itu sudah jengah dengan hegemoni tokoh agama yang dengan sengaja memanipulasi agama demi hawa nafsu mereka. Walhasil, meletuslah Renaissance, berkibar bendera liberalisme dan luluh lantah kekuasaan agama.

Manusia Barat yang dahulu mesti tunduk di bawah kekuasaan tokoh agama, pasca Rennaissance mereka berbalik 180 derajat menentang bahkan melepaskan atribut-atribut keagamaan. Maka tidak sedikit revolusi ini melahirkan jiwa-jiwa yang apatis, skeptis bahkan atheis terhadap agama. Disamping melahirkan jiwa-jiwa tadi, ada juga sekelompok orang Barat yang bersikap depensife terhadap agama, sehingga sering merasa tidak nyaman dengan hal-hal yang berkaitan dengan agama. Meskipun mereka masih mempercayai agamanya. Kelompok ini yang kita kenal dengan sebutan Liberalis, yang nantinya mereka yang menelorkan teori sekulerisme.
Liberal diambil dari bahasa Latin yang berbunyi "Liberalis", yang berarti "Bebas/merdeka". Dalam kamus Oxford, Liberal bermakna terminology sebagai "Pikiran yang terbuka tidak fanatis, cenderung kearah perbaikan Demokrasi". Adapun dalam Mu'jam Al Falsafi Liberalisme berarti "Teori politik yang berkamuflase menjadi sebuah ideologi, yang bersemboyan bahwa kebebasan adalah asas bagi kemajuan. Menolak kuasa absolut, baik dari sisi duniawi ataupun religi".
Singkatnya, liberal adalah corak berpikir yang tidak mau tersentuh oleh nilai moral, sosial bahkan agama sekalipun. Lebih jauh lagi, paham liberal ini malahan yang nantinya bertujuan meramu ulang disiplin nilai moral, sosial, dan agama.
Seiring perputaran jaman, paham liberal masih dapat bertahan hingga saat ini, karena dengan paham ini telah membuahkan peradaban yang masih menjadi kiblatnya kebanyakan umat manusia. Muslimin yang dahulu menjadi representasi kegemilangan sebuah peradaban dan kiblatnya Barat, sekarang tengah mengalami ketertinggalan. Dan kondisi ini melahirkan jiwa-jiwa skeptis terhadap agamanya, sehingga mereka mengkambing hitamkan agama sebagai biang kemunduran umat Islam. Akhirnya, mereka mengikat lehernya dengan rantai yang rela digiring Barat kemanapun pergi, dan teori-teori liberal mereka usahakan agar merasuk ke dalam benak-benak umat Islam. Meskipun tidak dapat dipungkiri juga, bahwa usaha ini tidak menutup kemungkinan adanya konspirasi Barat yang berkeinginan menjauhkan Muslimin dari agamanya.
Terlepas dari siapa yang memasukan paham liberal dalam tubuh umat Islam, pastinya paham ini pelan tapi pasti sudah membuat pembusukan dari dalam tubuh Islam. Berbagai bidang ilmu-ilmu Islam mereka jamah dengan cara pandang liberalnya, dari fiqih, tafsir, lughah dll. Ranah-ranah yang semestinya mapan (Tsawabit) dan untouchable mereka paksa agar menjadi nisbi, Islam mereka perlakukan layaknya karet yang bebas ditarik sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Mereka tidak sadar bahwa alasan mendasar dari ketertinggalan umat Islam kali ini berbeda dengan alasan dark age-nya Barat. Ketertinggalan Barat dipicu karena ulah hawa nafsu para tokoh agama dengan merubah ajaran-ajaran agama kristen. Sedangkan umat Islam tidak pernah mengalami trauma sejarah sebagaimana Barat, disamping umat Islam masih memiliki agama yang murni, integral dan komprehensif.
Atau dalam kata lain, paham liberal tidak dibutuhkan umat Islam untuk membangkitkan kembali peradaban Islam, karena pada dasarnya umat Islam terbelakang karena meninggalkan agamanya. Sedangkan paham liberal malah akan memperparah sakitnya umat Islam, karena paham ini mengusung gagasan sekulerisme yang mereduksi agama sampai ke tahap personal, dan membuangnya jauh-jauh dari ranah sosial dan politik.
Umat Islam kali ini sedang mencari-cari jati dirinya, namun karena tidak menyadari bahwa jati diri mereka adalah Al Qur'an dan As Sunnah, akhirnya mereka banyak menshibghah dirinya dengan kebudayaan Barat. Maka tak ayal lagi, ketika kran Globalisasi dibuka, air peradaban Barat dengan mudah dapat menempati bak-bak peradaban yang kosong. Muslimin kali ini hanya dapat menjadi konsumen yang menguntungkan Barat sebagai pemasok Food, Fun, Fashion bahkan Thougt (Pemikiran). Seakan tidak ada satu negara Islampun yang tidak tersentuh produk Coca Cola, KFC, begitupun dengan paham liberal beserta sekulerisme dan demokrasinya.
Satu nubuwat Nabi Muhammad Saw. sekarang terbukti, bahwa semua bangsa akan memperebutkan umat Islam dengan menawarkan produksi-produksi mereka. Karena umat Islam kali ini dalam keadaan lemah dan Wahn. Rasul bersabda: "Hampir saja bangsa-bangsa akan memperbutkan kalian dari seluruh penjuru, seperti orang yang memperebutkan makanan." Para sahabat lantas bertanya: "Apakah kita saat itu sedikit, wahai Rasulullah?", Rasul menjawab: "Bahkan kalian saat itu berjumlah banyak. Namun kalian seperti buih di atas air, dan Allah Swt. mencabut rasa takut terhadap kalian, dalam dada-dada musuh kalian. Sementara Dia akan meletakan Wahn dalam hati kalian." Para sahabat kembali bertanya: "Apa Wahn itu ya Rasulallah?", Rasul menjawab: "Cinta dunia dan takut mati" (HR. Bukhari).
Disamping umat Islam sedang diperebutkan bangsa-bangsa, juga muslimin sendiri menyambut apa yang mereka sodorkan sejengkal demi sejengkal, bahkan kelubang biyawakpun diikutinya. Maka terbukti nubuwat Rasul yang kedua "Kalian nanti akan mengikuti ajaran (tawaran) umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehatsa demi sehatsa. Bahkan, kalau saja mereka masuk lubang biyawakpun, kalian akan mengikutinya", sahabat bertanya: "Wahai Rasulallah, apakah (umat yang dimaksud) adalah Yahudi dan Nashrani?", Rasul menjawab "Siapa lagi!" (HR. Bukhari & Muslim). Ternyata, Yahudi dan Nashranilah antek dibalik penyebaran paham sesat ke dalam tubuh umat Islam.
Pemerkosaan pemikiran yang dilakukan liberalis terhadap umat Islam
Karena liberalisme adalah paham yang berprinsipkan bebas dari kuasa absolut, baik dari kuasa dunia atau agama. Maka, mereka dengan seenaknya menafsirkan bahkan merekonstruksi nilai-nilai yang sudah ada dan mapan, baik nilai-nilai moral, sosial, politik dan agama. Padahal jika kita cermati, paham mereka itu sama sekali tidak bebas dari kuasa absolut. Karena ketika mereka meriset suatu masalah, mereka memakai metode dan cara pandang Barat. Sehingga tidak heran, jika terdapat banyak kesamaan apa yang ditawarkan liberalis muslim dengan liberalis Barat. Perbedaan hanya dalam pengambilan referensi penguat pendapat mereka, tapi ide dasarnya masih sama.
Diantara ide-ide yang dijejalkan para liberalis muslim, diantaranya:
1. Sekulerisme
Tentu, ide ini yang akan ditawarkan liberalis muslim, karena mereka berpendapat bahwa munculnya kebangkitan peradaban Barat disebabkan tertanamnya paham sekuler di Barat. Sudah pasti, untuk frame kebudayaan dan keagamaan Barat ide ini sangatlah cocok, karena agama kristen sendiri memberikan ruang seluas-luasnya bagi paham sekuler. Nabi Isa diutus Allah Swt. tidak untuk menjadi pemimpin negara, tapi diutus untuk menjadi pembawa risalah tauhid dan penuntun moral manusia. Namun akhirnya risalah kenabian ini disempurnakan oleh Nabi Muhammad Saw., sebagai pembawa risalah tauhid, pemimpin negara dan tauladan bagi moral manusia.
Maka aneh, jika umat Islam sendiri memperjuangkan agar ide sekulerisme dilaksanakan oleh umat Islam. Padahal Islam adalah agama yang Syumul mencakup semua lini kehidupan; dari tahap personal, sosial, politik, ekonomi, dlsb. Dan demokrasi yang dijadikan sistem pemerintahan di kebanyakan negara-negara Islam saat ini, merupakan hasil dari teori sekulernya orang-orang liberal. Meskipun ada sebagian praktek demokrasi yang sejalan dengan praktek pemerintahan Islam, namun landasan dasar utamanya berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, kedaulatan itu di tangan Allah Swt. sedangkan demokrasi kedaulatan ditangan rakyat yang tidak luput dari lemah dan salah.
2. Pluralisme agama
Ide ini sudah lama diusung para liberalis Barat dalam menghentikan pertikaian agama-agama, apalagi saat ini musuh dari globalisasi adalah agama, maka semakin giat para liberalis dalam menyebar paham pluralisme agamanya. Pluralisme agama berbeda makna dengan Pluralitas agama, karena yang terakhir ini kita umat Islam mengakui bahwa agama itu beragam, sebagaimana firman Allah Swt.: "Untuk tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan-jalan" (QS. Al Maidah:48). Namun aturan dan jalan (baca: agama) mana yang benar?. Pluralisme agama berpendapat bahwa semua agama adalah ciptaan Tuhan dan semua akan bertemu dalam satu titik Tuhan, karenanya semua agama adalah benar. Teori ini dinamakan Frithjof Schuon dengan "Religio Perenis" (agama abadi), dan diterjemahkan Seyyed Hossein Nasr (tokoh Liberalis) dengan "Al Hikmah Al Khalidah" yang dia simpulkan bahwa semua agama itu Hanif (Agama Nabi Ibrahim As.) sebagaimana dalam surat Ali Imran:67.
Adapun kita umat Islam yang mengakui pluralitas agama, tidak berarti meyakini juga bahwa semua agama itu benar. Sebab guna Allah Swt. menciptakan agama-agama –dalam lanjutan ayat tadi- adalah hendak menguji manusia, apakah kita akan mengikuti agama Islam yang hanya diterima Allah Swt., atau mengikuti agama-agama lain!. Sebagaimana Allah menciptakan Petunjuk dan Kesesatan, bukan berarti Allah meridhai kesesatan, tapi itu diciptakan agar bisa menguji manusia. Kebenaran ini akan tersingkap ketika manusia dikumpulkan oleh Allah, dan akan diberitakan bahwa dari semua agama-agama yang ada hanya Islam lah yang diterima Allah (dilihat QS. Ali Imran: 19&85). Sedangkan pengakuan liberalis bahwa semua agama itu Hanif, adalah pengakuan yang mengada-ada, karena Nabi Ibrahim tidak mengajarkan kemusyrikan (QS.Ali Imran: 67-68), dan hanya Islam yang mengajarkan ketauhidan (QS. Al ikhlash:1), tidak layaknya Kristen (agama bikinan Paulus) yang menyembah Yesus dan berakidah trinitas (QS. Al Maidah: 73), juga agama-agama lain selain Islampun demikian.
3. Hermeneutika
Hermeneutika diasosiasikan kepada Hermes, sang utusan Dewa untuk menerjemahkan dan menyampaikan pesan Dewata yang masih samar. Jadi tugas Hermeneutika adalah memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh penulis teks, dengan meneliti tata bahasa, retorika, logika, sejarah tradisi teks, penerjemahan dan kritik terhadap teks.
Hermeneutika memberikan ruang selebar-lebarnya bagi manusia dalam menafsirkan kitab, terutama dalam usaha mengkritisi teks, bahkan sampai menafikan kesucian dan kesakralan kitab. Makanya mereka berpendapat bahwa kitab (Al Qur'an) adalah kebenaran menurut ukuran manusia, artinya mereka mengira bahwa "kebenaran" manusia melebihi keabsolutan Al Aqur'an. Sampai-sampai karena memakai Hermeneutika ini, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa Al Qur'an adalah produk budaya (Muntaj Tsaqafi). Sedangkan budaya tidak akan lepas dari kesalahan, jadi konklusinya Al Qur'an menurut Nasr ada kemungkinan salah.
Adapun Tafsir yang dipakai ulama-ulama Islam dalam menafsirkan Al Qur'an, dapat membatasi akal manusia dari mengedepankan hawa nafsunya. Karena Tafsir selalu terkait erat dengan ayat-ayat dan Sunnah Rasul. Tapi hal ini bukan berarti Tafsir tidak bisa membaca konteks (tradisi) yang terus berkembang, karena Tafsir adalah upaya menghubungkan teks Al Qur'an -yang bersifat integral dan selalu relevan disetiap jaman- dengan realita yang ada.

Lanjuuut......

Taha Husein, Duri Dalam Daging

Kebebasan berpendapat merupakan anugerah Tuhan, karenanya tidak bisa seorangpun menentang sunatullah ini. Namun, jika kebebasan ini telah disusupi hawa nafsu, maka geraknya menjadi tidak sesuai dengan sunatullah. Isu-isu kaum liberalis yang selama ini mulai menjamur di dalam pemikiran Islam, bagaikan buah-buahan yang indah warnanya dan cukup mendatangkan selera. Pemalsuan dan konspirasi mereka kemas seindah mungkin dalam tulisan-tulisan, sehingga si korban tidak tahu bahwa dia sedang dikuliti secara perlahan.

Diantara mata rantai liberalis ini salah satunya adalah Dr. Taha Husein, yang menurut Dr. Ihsan Ath Tharablisi dia juga sebagai mata-mata Perancis, di samping istrinyapun seorang mata-mata zionisme. Taha dilahirkan di sebuah desa yang bernama Al Mania-Sha’idi pada tanggal 14 November 1889, meninggal pada 28 Oktober 1973. Ayahnya bernama Husein Ali seorang buruh di pabrik gula, namun beliau sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Taha kecil dimasukkan ke sebuah Kuttab, di sana dia bisa menghafal Al Qur’an pada usianya yg masih dini, juga menghafal Al Fiyah dan qai’dah-qaidah tajwid. Pada usianya yang ke-enam dia mengalami kebutaan, dan tidak sempat diobati karena kondisi keluarganya yang miskin.
Dengan kondisinya ini tidak sampai mematahkan obsesi dia dalam mencari ilmu, sehingga dia meneruskan study di Al Azhar disamping belajar bahasa dan sastra Arab pada Sayid Ali Al Marshafi. Pada tahun 1908 Taha sepenuhnya menjauh dari pendidikan Al Azhar dan pindah ke Universitas swasta Mesir. Di sini dia menemukan gaya pendidikan yg berbeda dari Al Azhar yg menurut dia sangat dogmatis. Lain halnya di universitas barunya, dia menemukan kebebasan berpikir dan kebebasan dalam meriset ilmu pengetahuan.
Di universitas barunya, mulai terbentuklah jiwa kritis bahkan radikal dalam berpikir. Karena kecerdasan otaknya, pada tanggal 5 Maret 1914 universitas tertarik untuk membiayai dia melanjutkan studinya di Sorbonne (Perancis). Disini dia bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Suzane -yg akhirnya disunting Taha pada tahun 1917- yang memiliki pengaruh besar pada cara pandang Taha Husein terhadap Islam. Tahun 1919 dia menulis desertasi doktoralnya dengan judul "Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu Khaldun” فلسفة ابن خلدون الاجتماعية.
Tahun 1919 kembali ke mesir dan menjadi Dosen fakultas sastra di universitasnya dahulu. Disini dia mulai merintis pemikirannya dengan cara mengajak pada kemerdekaan intelektual, yg menurutnya hal ini bisa diperoleh dengan memandang metodenya bangsa-bangsa yg telah maju. Sebagaimana dalam bukunya Al Ayyâm –telah diterjemahkan kedalam 10 bahasa- menggambarkan kebencian Taha terhadap fenomena sosial yg terjadi di Mesir saat itu, apatah lagi setelah ia mengetahui kehidupan sosial gaya barat.
Setelah diangkat menjadi dekan universitas sastra pada tahun 1930, lebih jelas lagi dia berpendapat “Kita mesti mengikuti perjalanan bangsa Eropa dan melangkah di rute mereka, dengan menjadikan mereka Andâdan dan partner dalam peradaban. Mengambil apa yang baik dan buruknya Eropa, manis dan pahitnya, yang dicintai dan dibenci, serta yang dipuji dan tak terpuji” (Mustaqbal Ats Tsaqâfah fî Mashri, h. 41). Dalam bukunya ini dia mengajak agar memboyong peradaban barat ke semua lini kehidupan Mesir dan memutuskan ikatan antara Mesir dengan Islam, menggembar-gemborkan nasionalisme dan sekularisme. Dia berpendapat bahwa Mesir lebih dekat dari kebudayaan Yunani, dan tidak ada kaitan erat dengan pemikiran Timur.
Pada tahun 1950-1952 Taha diangkat menjadi menteri Pendidikan. Semasa hidupnya dia telah menulis lebih dari 60 judul buku, dan mendapatkan Gelar Kehormatan dari lima Universitas luar negri diantaranya; Universitas Madrid, Lyon, Oxford.
Sebagaimana Descartes, Taha Husein memulai risetnya dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Dahulu Descartes meragukan benda inderawi, ilmu pasti bahkan keberadaan dirinyapun diragukan (Prof. Ahmad Tafsir: Filsafat Umum h.132). Taha sendiri meragukan kevalidan Al Qur’an dan hal-hal lain yang sudah mapan dalam agama. Padahal “Al yaqînu lâ yazâlu bi Syak”!.
Dalam bukunya Fîsy Syi’ril Jâhily Taha membuat isu yang membuahkan pertentangan sengit dari para ulama Al Azhar, diantaranya dia mengatakan “Gambaran masa jahiliyah yang notabene dekat dengan Islam, tidak diberikan gambaran jelas dan kuat. Karena itu kita tidak mesti merujuk kepada Syai’r bahkan kepada Al Qur’an di satu sisi, dan sejarah serta hikayat-hikayat di sisi lain” (Taha Husein: h. 8)
Menurut Anwar Jundi, tujuan Taha di setiap buku dan ceramahnya adalah: “Menyusupkan metode filsafat keraguan ala Descartes ke dalam pemikiran Islam, dengan cara menguasai sejarah dan kritik sastra…mengkritik Al Qur’an dengan menuduhnya sebagai teks sastra, juga meragukan keberadaan” ( Al ‘Ashr tahta dlau’il Islâm, h. 30).
Dengan mengatakan bahwa Al qur’an adalah produk kebudayaan, berarti dia sudah menganggap bahwa Al Qur’an adalah syari’at yang bersifat lokal dan temporal. Karena itu secara tersirat dia sudah berpendapat bahwa Al Qur’an tidak lagi relevan untuk umat berperadaban sekarang.
Syaikh Mahmud Syakir menyebutkan “Klaim Taha Husein tentang kaidah asas dalam metode Descartes dengan mengajak para periset menanggalkan setiap apa yg telah diketahui sebelumnya. Dengan alasan agar risetnya diterima oleh pikiran yang sama sekali kosong. Klaim semua ini tidak memiliki asal (dalam Islam), selanjutnya menjadi istilah-istilah bohong yang disucikan bahkan keluar dari lingkaran kemanusiaan” .
Masih dalam Fisy Syi’ril Jâhily Taha menulis “Dalam Taurat menceritakan kepada kita tentang kisah Ibrahim dan Ismail, begitupun halnya dalam Al Qur’an. Akan tetapi terteranya kedua nama ini dalam Tauret dan Al Qur’an tidak cukup untuk dijadikan bukti adanya sejarah mereka, melihat bukti yg disodorkan kepada kita tentang hijrahnya Ismail Ibn Ibrahim ke Makkah dan membangun bangsa Arab. Kami anggap kisah ini merupakan suatu kemustahilan dalam membuktikan hubungan antara Yahudi dan Arab di satu sisi, Islam dan Yahudi serta Al Qur’an dan Tauret di sisi lainnya”. Lagi-lagi Taha meragukan kevalidan Al Qur’an, kali ini dalam menceritakan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, bahkan dia meragukan keberadaan kedua Nabi tersebut.
Kebohongan tidak akan selamanya berdiri, bahkan teman dekatnyapun –Muhammad Husein Haikal- mengkritiknya “Yang berbahaya bukanlah pada sastranya saja, tetapi pada pemikiran Islam seluruhnya. Karena dia kembali menanam hikayat-hikayat paganisme dan Israiliyat dalam sirah Nabi Saw., yang hal ini telah dibersihkan dan dibebaskan oleh para ulama muslim dari hal tersebut” (Anwar Jundi: Taha Husein fî mîzanil Ulamâ, h. 236).
Akhirnya, saya mengajak agar menjadi mentari pagi yang muncul dan menutup gelapnya malam. Karena kebathilan tidak akan runtuh jika kebenaran tidak muncul (QS: Al Isrâ:81).

Lanjuuut......

Haji, Ibadah Dua Dimensi


Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al Hajj:27)

Haji adalah ibadah yang memiliki dua dimensi yang sangat berpengaruh kepada pahala yang akan diterima para Hujjâj. Kedua dimensi tersebut adalah dimensi hubungan manusia dengan manusia dan dimensi hubungan manusia dengan Allah Swt. Oleh karena itu, pelaksanaan ibadah haji membutuhkan persiapan dan perbekalan yang banyak, karena pengorbanannya pun sangat besar, baik itu dari segi ilmu, fisik, jasad dan harta.

Pada dimensi pertama kita bisa menemukannya dalam perintah Allah Swt yang melarang kepada para Hujjâj untuk Rafats, Fusûq, dan Jidal (QS. 2:197), atau juga ketika membagikan hasil kurban. Sedangkan dimensi kedua kita bisa merasakannya ketika melaksanakan rukun-rukun haji, dan yang lebih khususnya ketika kita berada di padang 'Arafah.
"Ibadah dua dimensi" ini sudah jauh-jauh hari dilakukan semenjak jaman Nabi Ibrahim As, yang telah Allah diabadikan dalam Al Qur'an surat Al Hajj. Dan ayat di atas merupakan salah satu dari ayat-ayat Al Qur'an yang berkenaan mengenai perintah haji.

• Asbâbunnuzûl ayat (Sebab turun ayat)
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Mujahid berkata "mereka (Hujjâj) tidak berkendaraan", lalu Allah menurunkan ayat ini dalam menjawab pernyataan Mujahid, "…niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki ,dan mengendarai unta yang kurus…". Maka diperintahkanlah kepada mereka agar membawa bekal, serta mereka diberi keringanan boleh berkendaraan, dan berdagang.

• Tafsir (penjelasan) ayat
Nabi Ibrahim As adalah Nabi yang diperintah oleh Allah agar membangun masjidil Haram, dan mesjid inilah mesjid yang pertama dibangun untuk manusia (QS. 3:96).

* " Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,…" (QS. Al Hajj:27)
Ketika Nabi Ibrahim As menyelesaikan Masjidil Haram, Allah Swt memerintahkannya untuk berseru kepada sekalian manusia agar mereka dapat melaksanakan ibadah haji. Lalu beliau balik bertanya kepada Allah "wahai Tuhan, bagaimana bisa suara hamba sampai kepada manusia ?", Allah berfirman "Berserulah, akan Kami sampaikan". Kemudian beliau bergegas menaiki gunung Abi qubais (ada yang berpendapat beliau menaiki batu atau bukit Shafa) dan berseru "wahai sekalian manusia ! sesungguhnya Allah memerintahkan kalian agar melaksanakan haji di Bait ini. Dia akan memberimu surga karenanya, dan akan menjauhkanmu dari siksa neraka". Ketika beliau berseru, gunung-gunung menunduk sehingga suaranya bisa terdengar ke penjuru bumi, maka yang berada dalam sulbi-sulbi laki-laki dan yang berada dalam rahim wanita menjawab seruannya "Labbaik Allâhumma Labbaik (kusambut panggilan-Mu ya Allah)".
Al Qurthubi mengutip pendapat Ibn Abbas dan Ibn Jabir berkata "Maka jika mereka menjawab seruannya pada waktu itu, mereka akan dapat melaksanakan ibadah haji sesuai dengan banyak jawabannya dulu. Jika menjawabnya sebanyak satu kali, maka dia akan melaksanakan haji satu kali, dan jika dua kali maka dia akan melaksanakannya sebanyak dua kali".
Kita dapat membayangkan bagaimana Nabi Ibrahim dahulu kebingungan ketika Allah memerintahkannya untuk menyeru manusia agar dapat menunaikan haji, terbukti dengan pertanyaan beliau yang bernada heran kepada Allah Swt. Betapa tidak, sebab pada waktu itu beliau sedang berduaan dengan anaknya (Nabi Ismail As), dan manusia yang mengimani ke-Esa-an Allah pun pada waktu itu masih sedikit, serta suara Nabi Ibrahim juga tidak akan kuat terdengar kesemua penjuru dunia.
Akan tetapi, keimanan seorang kekasih Allah tidak akan sampai melanggar perintahNya, maka beliau segera melaksanakan tugas suci ini sehingga Allah memberinya mukjizat dengan terdengar suaranya kepada seluruh manusia yang masih berada di dalam sulbi ayahnya dan berada dalam rahim ibunya.
Oleh karena itu, salah jika kita mengatakan kepada orang yang belum menunaikan ibadah haji dengan ucapan "Anda belum dipanggil", karena Nabi Ibrahim jauh-jauh hari sudah menyeru umat manusia. Akan tetapi selayaknya kita ucapkan kepadanya dengan ucapan "Semoga Anda termasuk orang-orang yang menjawab seruan Nabi Ibrahim dahulu", karena ucapan ini disamping tidak meniadakan seruan Nabi Ibrahim As dulu, juga tidak meniadakan dan atau mendahului memutuskan takdir seseorang yang tidak diketahui semua manusia.

* "… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh" (QS. Al Hajj:27)
Tidak ada ikhtilaf dalam hal bolehnya para Hujjâj berkendaraan atau berjalan ketika akan melaksanakan haji, akan tetapi terjadi ikhtilaf dalam masalah keutamaan diantara keduanya :
a. Imam Malik dan Syafi'i berpendapat bahwa orang yang berkendaraan lebih utama dari pada yang berjalan kaki, karena ini mengikuti perbuatan Nabi Saw, dan karena ongkos serta bekalnya lebih besar.
b. Sebagian ulama berpendapat bahwa berjalan kaki lebih utama dari pada berkendaraan, dengan alasan kesusahannya lebih besar dirasakan para pejalan kaki. Madzhab ini mengambil dalil bahwa Nabi Saw dan para sahabat dahulu berjalan kaki dari Madinah menuju Makkah, sehingga Nabi bersabda "Ikatlah pinggang kalian dengan kekuatan kalian" (HR. Ibn Majah). Hadis ini menggambarkan betapa susahnya Nabi Saw beserta para sahabatnya yang berjalan kaki menuju Makkah, sebab itu madzhab ini beralasan bahwa pahala akan semakin besar jika pengorbanan tubuhpun besar. Akan tetapi, hadis ini berderajat dla'if (lemah), maka hadis ini lemah untuk dijadikan dalil mengenai masalah ini.
Dalam potongan ayat di surat Al Hajj:27 terdapat istilah Dlamir, yaitu seekor unta yang kurus dan kelelahan akibat dari perjalanannya, hal ini menggambarkan jauh dan sukarnya jalan yang ditempuh oleh jama'ah haji. Ada yang berpendapat bahwa Allah meng-qiyaskan (analogikan) dlamir ini dengan harta yang habis ketika sampai di Makkah. Maka, pada jaman modern ini kita bisa mengqiyaskan dlamir dengan ongkos biaya pesawat, mobil dll, yang dikeluarkan para Hujjâj sehingga mereka bisa sampai ke Makkah. Kenapa demikian?, karena Al Qur'an pun mengakui akan adanya kendaraan selain kendaraan dari hewan, sebagaimana dalam firman Allah Swt "dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak ketahuinya. (QS. 16:8).
Potongan ayat yang digaris bawahi ini menunjukkan bahwa Allah Yakhluqu/akan menciptakan (dengan menggunakan fi'il Mudlari', menunjukkan masa yang akan datang) kendaraan yang pada waktu itu bangsa Arab belum mengetahuinya, dan akan diketahui pada masa sekarang ini.
Durus wa I'bar (Pelajaran dan Ibrah)
Dari penafsiran ayat di atas, kita dapat mengambil pelajaran dan ibrah mengenai ibadah haji, diantaranya :
1. Ibadah haji diwajibkan bagi mereka yang sudah mampu.
2. Ibadah haji adalah ibadah yang begitu besar pengorbanannya, baik itu pengorbanan harta, fisik ataupun nyawa.
3. Ibadah haji adalah salah satu sarana untuk berta'aruf dengan muslimin dari seluruh penjuru dunia.
4. Ibadah haji adalah salah satu ibadah yang tidak mengusung pesan rasialisme (fanatik suku), nasionalisme (fanatik Negara) dan diskriminasi jender (Membeda-bedakan antara wanita dan laki-laki). Karena ibadah haji adalah perjalanan rohani yang menanggalkan semua urusan duniawi, baik itu pangkat, kekayaan ataupun ketenaran.
5. Islam adalah satu-satunya agama yang sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim, juga agama yang meneruskan ajaran-ajaran Nabi Ibrahim.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu

Lanjuuut......

Hijrah; Upaya Membangun Strategi Da’wah

Perubahan merupakan peristiwa sunatullah yang tidak dapat dielakkan lagi, sehingga dengan ini manusia dapat hidup berpariasi, merasakan baik ataupun buruk, senang ataupun sedih, sukses ataupun gagal. Tiada yang mempunyai sifat ketetapan, meliankan Allah Swt yang Maha tetap hidup, tetap rahmân dan rahîm. Perubahan dapat menuntut manusia berfikir kreatif dalam menghadapi percaturan hidupnya di dunia. Sedangkan dunia adalah permainan semata, akan tetapi alangkah bahagianya jika kita bisa menjadi pemain yang terbaik dibandingkan pemain-pemain lainnya, tentunya kita mesti bisa mengendalikan permainan di saat permainan itu menuntut merubah diri atau lingkungannya, bukannya kita yang malah dikendalikan oleh permainan, sebab itu Kahlil Gibran pernah berkata "Kamu boleh berubah menuruti musim, tetapi musim jangan sampai merubah kamu"

Hijrah Muslimin

Hijrah, merupakan usaha menuju perbaikan da'wah Rasulullah beserta perbaikan strategi pengembangan da'wah beliau. Ini terjadi setelah beliau merasakan da'wahnya di Makkah banyak mengorbankan pengikutnya yang lemah dan miskin. Walaupun sebelumnya, beliau beserta pengikutnya sabar menghadapi segala penderitaan dan cacian dari kafir Quraisy, sehingga pernah salah seorang sahabat meminta kepada Rasulullah agar memanjatkan do'a kepada Allah Swt untuk keselamatan mereka, tetapi Rasul lebih memilih menguatkan hati dan aqidah mereka dengan mengkisahkan orang-orang sebelum mereka yang disiksa, dikubur hidup-hidup di dalam tanah, atau ada yang dipotong dengan gergaji, tetapi mereka tetap tidak rela menanggalkan agama tauhid, dan mereka tidak takut kecuali kepada Allah Swt.

Kata Hijrah diambil dari tiga huruf Ha Ja Ra yang artinya Taraka (meninggalkan), jadi arti Hijrah Rasulullah beserta kaumnya adalah "Usaha meninggalkan tempat tinggal, harta, dan segala yang dimilikinya (kecuali aqidah mereka) demi mengharapkan keutamaan dari Allah Swt". Maka dengan Hijrah ini, mereka diangkat derajatnya oleh Allah Swt (QS. At Taubah : 20) dan diberikan kemenangan (QS. Al Hasyr : 8).

Hijrah pertama dilakukan kaum muslimin menuju Habasyah, setelah Nabi Saw mengetahui sosok raja Habasyah yang menanamkan sikap kebebasan berpendapat, kebebasan beragama dan kebebasan menyerukan da'wah kepada rakyatnya. Hijrah ke Habasyah ini dilakukan oleh 12 orang yang dipimpin oleh Utsman Ibn Affan yang ketika itu beliau bersama istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah, ini terjadi pada tahun ke-empat setelah kenabian. Kemudian Hijrah kedua dilakukan oleh 83 orang laki-laki dan 18/19 orang perempuan menuju Habasyah.

Setelah kepergian sebagian sahabat menuju Habasyah, penyiksaan dan cercaan begitu deras dirasakan oleh Nabi Saw beserta kaumnya, akan tetapi pada tahun kedelapan setelah kenabian, Allah menghadiahkan mereka dengan keIslaman Hamzah Ibn Abdul Muthalib dan selanjutnya disusul dengan Islamnya Umar Ibn Khathab selang tiga hari setelah keIslaman Hamzah, sehingga kekuatan Islam terbantu oleh sikap patriotik keduanya. Setelah kafir Quraisy mengetahui keislaman dua singa Islam ini, mereka menekankan penyiksaannya kepada orang-orang miskin dan lemah.

Setelah berlangsung lama kaum muslimin merasakan penyiksaan, maka Nabi Saw diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan Hijrah menuju Yatsrib (sekarang bernama Madinah). Peristiwa Hijrah ini terjadi setelah diadakannya perjanjian Aqabah pada tahun ke-11 setelah kenabian, dan perjanjian Aqabah kedua pada tahun ke-13 setelah kenabian. Perjanjian ini dilakukan sebagai politik da'wah Rasul di dalam mengembangkan da'wahnya, sehingga penduduk Yatsrib berduyun-duyun memasuki agama tauhid.

Hijrah merupakan asas dari kemenangan agama Allah, dan bisa menghantarkan muslimin menuju percokolan politik dunia. Serta dengan Hijrah ini, bisa terbukti bahwa agama yang dibawa oleh Rasulullah semata-mata adalah benar, sebab jika Rasulullah beserta kaumnya tetap menetap dan berbaur dengan kafir Quraisy di Makkah, maka orang-orang yang lemah imannya beserta para musuh Allah akan berkata "Muhammad diperintahkan bersama kaumnya hanya untuk mencengkram hegemoni bangsa Arab dan sekitarnya". Anggapan ini bisa terjadi karena Makkah merupakan pusat peribadatan dan pusat perdagangan bangsa Arab, sebab itu jika Nabi tetap bertahan menetap maka gerak da'wahnya akan terlihat sebatas politis bukannya Rahmatan lil A'lamîn.

Nabi Muhammad Saw akhirnya Hijrah setelah mayoritas kaumnya lebih dahulu berHijrah menuju Yatsrib, padahal beliau sendiri mengakui bahwa Makkah adalah negri yang sangat dicintainya, sebagaimana sabdanya "Demi Allah, sesungguhnya kamu (Makkah) adalah sebaik-baik bumi, dan aku mencintai bumi Allah karena Allah. Kalaulah aku tidak diperintahkan untuk keluar darimu, aku tidak akan keluar" (HR. At Tirmidzi). Akan tetapi dengan keta'atannya kepada Allah Swt, Nabipun berhijrah bersama Abu Bakar.

Mu'jizat sewaktu hijrah

Mu'jizat adalah keagungan Allah yang hanya didapatkan oleh para Nabi-Nya, maka tidak heran jika Nabi Saw pun mendapat mu'jizat sewaktu perjalanan hijrahnya. Setidaknya ada lima mu'jizat yang diterima Rasulullah ketika berhijrah :

1. Ketika Nabi keluar dengan selamat dari rumahnya bersama Abu Bakar, padahal pada waktu itu para kafir Quraisy berjaga di depan rumah beliau untuk membunuhnya.

2. Kejadian di Gua Tsur, pada waktu itu di pintu gua terdapat jalinan rumah laba-laba yang bisa mengecoh kafir Quraisy. Padahal jika saja kepala mereka masuk ke mulut gua, mereka akan langsung melihat keduanya.

3. Masih di gua Tsur, ketika itu Abu Bakar terkena sengatan ular yang membuatnya menitikkan air mata, kemudian Nabi meludahi bekas sengatan tersebut dan akhirnya Abu Bakar sembuh.

4. Kejadian di tengah padang pasir, pada waktu itu Nabi bersama Abu Bakar diintai oleh Suraqah Ibn Malik (seorang penunggang kuda terbaik) yang ingin membunuh keduanya. Akan tetapi dengan iradah Allah, kuda Suraqah empat kali terperosok ke dalam pasir, akhirnya rencana pembunuhan itu tidak berhasil.

5. Ketika Nabi mendatangi rumah Ummu Ma'bad, seorang dermawan yang biasa memberikan minuman kepada orang yang melewati rumahnya. Akan tetapi pada waktu itu kambing Ummu Ma'bad sudah tidak bisa mengeluarkan susunya, sehingga dia tidak dapat memberikan minum kepada Nabi dan Abu Bakar. Akan tetapi dengan mu'jizatnya, kambing itu bisa mengeluarkan susu, sehingga beliau dan Abu Bakar bisa meminumnya.

Muslimin di Madinah

Hijrahnya Rasulullah juga merupakan suatu mu'jizat yang sangat agung, karena dengan hijrahnya beliau bersama muslimin bisa membuka pintu-pintu da'wah keberbagai pelosok negri Arab, serta beliau bisa membangun agama, sosial, politik dan ekonomi dengan nuansa Islami di Madinah. Oleh karena itu, masyarakat madani (civil society) secara nyata pernah terjadi pada jaman Nabi Muhammad Saw yaitu komunitas muslim pertama di kota Madinah.

Pembangunan agama beliau lakukan dengan menekankan nilai-nilai aqidah yang sudah dipupuk Muhajirin semasa di Makkah, serta dilanjutkan pada nilai-nilai ibadah yang dimulai dengan pelajaran NIAT. Bahwa segala sesuatu mesti diawali dengan niat, sebab yang membedakan ibadah dengan adat-kebiasaan adalah niat. Pembangunan sosial beliau pupuk dengan mempersahabatkan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, sehingga bisa meleburkan sekat-sekat chauvinisme dan menjunjung rasa Itsar (mendahulukan orang lain) dalam pergaulan mereka. Juga memerintahkan mereka kepada nilai-nilai sosial-budaya yang berakhlaqul karimah (QS. Al Mâidah : 2).

Dalam pembangunan politik, Rasulullah adalah contoh pemimpin yang sukses dalam suatu negara, karena beliau bisa mendamaikan agama-agama yang ada di Madinah. Padahal yang menjadi permasalahan para pemimpin sekarang ini banyak berkisar dalam permasalahan penyelesaian konflik antar agama. Kebebasan beragama ini beliau mulai dengan diadakannya Madinatu Carter (perjanjian Madinah) antara agama yang ada di Yatsrib, yang kemudian perjanjian ini dikhianati oleh Yahudi. Beliaupun menjadikan pusat pemerintahannya di suatu tempat yang diberkahi Allah, yaitu Mesjid Nabawi. Hal ini bisa membuat kondisi ruhani anggota dewan yang mengadakan rapat menjadi senantiasa suci, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan rapat yang dapat mengobati permasalahan rakyat yang sedang terjadi. Ini semua beliau lakukan dengan menjunjung tinggi nilai musyawarah (QS. Asy Syûra : 38 & Ali I'mran : 159) dan mengajarkan nilai politik egaliterianisme (kesederajatan) antar pemerintah dengan rakyat (QS. Al Hujurât : 13).

Dalam pembangunan ekonomi, beliau memerintahkan kepada nilai ekonomi yang jujur dan memelihara keamanan harta rakyat (QS. Al Baqarah : 188). Serta demi terjadinya sirklus uang (harta) dalam masyarakat serta menghindari mobilisasi kekayaan oleh orang-orang kaya, maka Nabi memerintahkan umat Islam agar mengeluarkan zakat dan infaq untuk faqir-miskin. Serta memerintahkan non-muslim agar mengeluarkan jizyah sebagai pengganti zakat/infaq dan sebagai pajak dari mereka karena diberikan keamanan oleh pemerintahan Islam.

Durus wa I'bâr (pelajaran dan ibrah) dari Hijrah

Dimulai dari perjalanan Nabi Saw sehingga sampai menuju Yatsrib, kita bisa mengambil beberapa pelajaran yang dapat kita contoh, diantaranya :

1. Mesti mempunyai taktik di dalam menghadapi musuh Islam, ini bisa dilihat dari perjalanan Nabi menuju Madinah dengan memakai jalur Yaman yang mesti melewati pegunungan dan bebatuan yang terjal, dan tidak memakai jalur yang langsung menuju Madinah. Karena beliau hendak mengecoh siasat kafir Quraisy yang mengejar beliau.

2. Tawakkal merupakan kunci kedua setelah berusaha, karena dengan tawakkal, Allah akan menolong hambanya (QS. Al A'raf : 89). Sebagaimana ketika terjadi di gua Tsur, atau yang terjadi ketika Suraqah mengejar Nabi Saw. Oleh karena itu Nabi bersabda kepada Abu Bakar "Apa pendapatmu dengan dua orang, yang jika ketiganya itu adalah Allah?" (HR. Bukhari).

3. Kekuatan jasad adalah aspek yang mendukung keberhasilan da'wah, karena jika saja jasad Nabi dan Abu Bakar lemah ketika berhijrah, maka mereka tidak akan berhasil menuju Yatsrib.

4. Partner yang shaleh, loyal dan cerdas sangat mendukung suksesnya da'wah, sebagaimana Abu Bakar yang mengawal Nabi Saw berhijrah. Saking loyalnya beliau kepada Nabi, beliau terkadang berjalan di depan Nabi, kemudian ke sisi kiri, lalu ke sisi kanan, juga ke belakang demi menjaga kekasihnya ini.

5. Sabar dari segala cobaan yang menerpa diri dan da'wah.

Hijrah merupakan proses perubahan dalam kehidupan, oleh karena itu Allah berfirman "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja." (Al 'Ankabût : 56), ayat ini memerintahkan kita untuk berubah dengan cara hijrah dari negara orang kafir, jika disana kita tidak bisa melakukan keta'atan kepada Allah. Sedangkan Hijrah masih berlangsung sampai sekarang, sebagaimana yang dikatakan Syaikh Abdul Munshif Mahmud Abdul Fatah, "Hijrah yang dilarang oleh Nabi itu adalah Hijrah yang melewati batas, karena Islam adalah agama yang toleran".

Marilah kita mulai berhijrah dari kemaksiatan menuju keshalehan, dari kebodohan menuju pengetahuan, dari salah kepada yang benar, karena kesalahan akan selalu kita lakukan. Maka janganlah berhenti berhijrah.

In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu

Lanjuuut......

Isra Mi'raj; Upaya Pengukuhan Tauhidullah


Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesunggunya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al Isrâ: 1).

Bulan Rajab adalah salah satu bulan dari penanggalan Hijriah, di dalamnya terdapat sejarah agung yang terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw. Peristiwa itu merupakan salah satu mukjizat beliau, yaitu Isra Mi’raj yang terjadi pada tahun ke-10 atau ke-11 setelah kenabiannya. Peristiwa ini juga berbarengan pada tahun wafatnya Abu Thalib dan istri Nabi –Khadijah-, yang disebut dengan A’amul Huzni (tahun kesedihan) sehingga peristiwa ini menyebabkan hati beliau sedih. Maka, dengan Isra Mi’raj Allah Swt memberikan kabar gembira bagi Nabi Saw, sekaligus pen-Taukid-an (penegasan) kembali akan pandangan kafir Quraisy terhadapnya. Akan tetapi, pasca Isra Mi’raj Abu Bakarlah orang yang pertama meyakini mukjizat Nabi tersebut, sehingga ia diberi gelar “Ash Shiddiq”. Lain halnya dengan kafir Quraisy, mereka malah menuduh Nabi sebagai seorang pembohong besar, gila, tukang sihir dan celaan-celaan lainnya.
Kata “Isra” diambil dari As Sîru Lailan (Perjalanan pada malam hari), artinya; perjalanan Nabi pada malam hari dengan mengendarai Buraq -sejenis binatang tunggangan yang besarnya di atas keledai, akan tetapi bukan Bighal. Juga bukan seperti hinaan para orientalis kepada Nabi Saw bahwa Buraq adalah seekor kuda bersayap dan berkepala wanita- menuju Allah Swt yang dimulai dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha. Sedangkan “Mi’raj” menurut etimologi adalah Wasîlatul ‘Uruj (Alat mendaki), maksudnya yaitu perjalanan agung Nabi Saw menuju tempat yang paling tinggi -Sidratul Muntaha- dengan qodrat Allah, dan tidak ada makhluq lainpun bisa melakukannya.
Jadi secara terminologi Isra Mi’raj dapat diartikan sebagai perjalanan Nabi pada malam hari menuju Allah Swt, dimulai dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha, selanjutnya menuju tempat yang paling tinggi yaitu Sidratul Muntaha.
Isra Mi’raj merupakan lambang risalah kenabian Muhammad Saw, serta sebuah hadiah untuk menenangkan hati beliau dari kesedihan dan keletihan rintangan da’wah yang berkepanjangan. Isra Mi’raj, merupakan salah satu bukti kekuasaan Allah Swt, serta merupakan ujian terhadap keimanan kaum muslimin pada waktu itu, dan juga pada waktu sekarang. Terlebih lagi pada masa modern ini, terkadang manusia menyepelekan kemukjizatan para Rasul Allah, ini terjadi karena kesombongan para intelek dan para scientis yang mereka duga telah bisa menyaingi kemukjizatan para Rasul dahulu, dengan membuat loncatan ilmu seperti membuat Pesawat ulang alik!.
Proses Perjalanan Nabi
Dalam perjalanan Isra Mi’raj ini, Nabi mengendarai Buraq dari Masjid Al Haram menuju Baitul Maqdis (Masjid Al Aqsha), lalu beliau mengikat Buraq di tempat para Nabi dahulu mengikatkan binatang tunggangannya. Kemudian beliau masuk ke mesjid dan melakukan shalat sebanyak dua raka’at dengan mengimamai para Nabi terdahulu, setelah itu Jibril mendatangi beliau dengan membawa dua buah bejana yang salah satunya berisi susu dan satunya lagi berisi Khamr (arak), lalu beliau memilih bejana yang berisi susu, maka Jibril berkata “Engkau telah memilih Fitrah (kesucian)”.
Kemudian Nabi mendaki menuju langit dunia, dan Jibril meminta izin agar dibukakan pintu langit dunia. Lalu dibukalah pintu langit dunia, serta tampaklah seorang laki-laki bernama Nabi Adam As. Lalu Adam As mempersilahkan masuk dan mendo’akan kebaikan bagi Nabi Saw.
Setelah itu Nabi mendaki menuju langit ke-dua, beliau bertemu dengan Nabi Yahya dan Nabi Isa As. Lalu menuju langit ke-tiga, bertemu dengan Nabi Yusuf As. Kemudian menuju langit ke-empat, serta bertemu dengan Nabi Idris. Setelah itu, beliau menuju langit ke-enam dan bertemu dengan Nabi Musa As. Lalu menuju langit ke-tujuh yang bersandar ke Baitul Ma’mur yang setiap harinya dimasuki oleh 70.000 malaikat yang tidak kembali lagi, dan disini beliau bisa bertemu dengan Nabi Ibrahim As.
Setelah itu, Nabi menuju Sidratul Muntaha dan melihat sebuah pohon yang memiliki daun seperti telinga gajah, dan buahnya seperti kendi, serta keluar dari akarnya dua buah sungai yang terlihat dan dua sungai yang tersembunyi. Jibril berkata bahwa dua sungai yang tersembunyi terletak di Surga, sedangkan dua sungai yang terlihat adalah sungai Nil dan sungai Eufrat.
Kemudian, datanglah perintah Allah kepada Nabi agar menyuruh manusia melaksanakan shalat sebanyak lima puluh kali sehari semalam. Setelah itu Nabi menerima perintah tersebut, dan beliau turun kembali. Tetapi, selama perjalanan pulang beliau bertemu dengan Nabi Musa, beliau ditanya tentang perintah Allah. Lalu Nabi menjawab pertanyaan Musa As, Maka Musa menyuruh Nabi agar meminta keringanan kepada Allah. Lalu, Nabipun meminta keringanan kepada Allah, yang akhirnya ditetapkanlah perintah shalat sebagaimana yang biasa kita lakukan selama sehari-semalam.
Mutiara Hikmah
Dari perjalanan singkat ini, ternyata memiliki rahasia keagungan Allah yang sangat tinggi, karena dalam satu malam saja Nabi bisa melewati Baitul Maqdis, Tujuh langit dan bertemu dengan para Nabi terdahulu, serta menuju Sidratul Muntaha. Jika dipikirkan dengan akal, maka akal kita tidak akan sampai memikirkan kebenaran Isra Mi’raj tersebut, sebab akal memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Akan tetapi, jika direnungkan dan dibenarkan dengan keimanan kita, maka kebenaran Isra Mi’raj akan langsung diterima, karena dengan keimanan yang bersih pasti memiliki kekuatan yang bisa menerima segala kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, meskipun tidak bisa dipahami oleh akal.
Adapun hikmah dibalik perjalanan Nabi dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha yaitu; bahwa perjalanan ini telah dipilih oleh Allah dengan tujuan agar bisa mengikat kuat antara aqidah-aqidah Tauhid kubra, yaitu dari mulai aqidah Ibrahim As, Ismail As, sampai aqidah Nabi Muhammad Saw. Juga, perjalanan ini bertujuan agar mengikat kuat diantara tempat-tempat suci agama tauhid. Serta maksud dikumpulkannya para Nabi terdahulu oleh Allah Swt agar melaksanakan shalat berjama’ah di baitul Maqdis, dengan diimami oleh Nabi Muhammad Saw, adalah untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi Allah yang terakhir dan penutup para Nabi.
Akhirnya, risalah Islam yang dahulu telah tersambung diantara para utusan Allah, di dalam Baitul Maqdis-lah risalah ini lebih disempurnakan ikatannya oleh Allah dengan perjalanan Isra Mi’raj Nabi Saw.Inilah satu bukti bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, adalah agama yang sama dibawa oleh Nabi-Nabi terdahulu, dan agama inilah (baca: Islam) adalah agama yang hanya diterima oleh Allah Swt (QS. Ali Imrân: 19).

Lanjuuut......

Tabarruk Masyru'

Kebahagiaan merupakan hak setiap manusia, dan orang lain tidak bisa mencegahnya untuk berbahagia. Akan tetapi agama membatasi kebahagiaan tersebut agar tidak sampai kepada sikap layaknya Qarun yang bahagia akan keberhasilannya, lalu dia menyombongkan segala usahanya (QS. Al Qhasas: 76). Kenapa demikian, sebab kebahagiaan yang sedang kita alami tersebut, merupakan hasil usaha kita yang jauh-jauh hari telah dicatat Allah sebelum manusia diciptakan. Oleh sebab itu, alangkah tidak layaknya jika seorang manusia terlalu berbahagia dengan apa yang telah Allah berikan padanya (QS. Al Hadid: 22-23).
Kebahagiaan bisa sampai menggoyahkan aqidah seseorang, jika dalam mensikapinya telah bersikap Ghulluw (berlebih-lebihan). Karena dengan sikap ghulluw dalam mensikapi kebahagiaan, sikap kita bisa berlanjut kepada sifat takabur, padahal Allah tidak akan memasukan seorang manusia jika di hatinya terdapat secuil dari ketakaburan.
Sebagian orang ada yang mengungkapkan rasa bahagianya dengan cara berpesta pora, janji ini-itu, dan prilaku-prilaku yang melambangkan kehedonisan. Mereka tidak menyadari bahwa hal ini disamping merupakan perbuatan yang sia-sia dihadapan Allah, juga merupakan perbuatan kaum Mutakabbirin yang membanggakan dirinya serta bisa menabur rasa iri dan dengki di hati-hati orang yang sedang bersedih atau miskin.
Allah memang telah memerintahkan kita untuk menyebut-nyebut (mengumumkan) segala ni’mat yang telah diberikan-Nya kepada manusia (QS. Adh Dhuha: 11), tetapi dengan catatan tidak berlebih-lebihan dalam pengungkapannya. Lalu, bagaimana agar dalam mengumumkan ni’mat Allah tersebut terhindar dari ketakaburan, dan bahkan sebaliknya agar bisa menambah keberkahan dalam ni’matnya itu?. Muslimin Timur tengah –khususnya Mesir– menamakan sikap mengumumkan ni’mat Allah ini dengan sebutan Tabarruk.
Dr. Ali Ibn Nufayyi’ Al ‘Ulyani mendefinisikan Tabarruk sebagai “Mengharap keberkahan dengan meminta tambahan kebaikan dan pahala, serta meminta dari apa saja yang dibutuhkan manusia bagi dunia dan agamanya. Dengan memanfaatkan sesuatu yang mempunyai keberkahan atau dengan masa (waktu) yang memiliki keberkahan”. Artinya, mengharapkan tambahan keberkahan dengan cara memanfaatkan benda atau masa yang memiliki keberkahan.
Islam memberikan solusi alternatif dalam hal Tabarruk (mencari tambahan pahala), dintaranya:
A. Dengan Memanfaatkan masa yang memiliki keberkahan.
Maksudnya yaitu memanfaatkan waktu-waktu yang memiliki keberkahan di dalamnya. Misalnya memanfaatkan momen di bulan Ramadhan, karena menurut Rasul “ Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, yaitu bulan penuh keberkahan ….” (HR. Ahmad). Atau mencari malam Al Qadar (QS. Ad Dukhan: 2, Al Qadar: 1-5). Juga memanfaatkan hari Arafah yang jika kita melaksanakan shaum di hari tersebut akan menghapus dosa selama satu tahun sebelum dan sesudahnya. Serta memanfaatkan hari Jum’at di mana pada hari ini terdapat waktu diijabahnya segala do’a, lalu hari Senin dan kamis yaitu hari dibukakannya pintu Surga dan hari diampuni segala dosa (terdapat dalam hadits riwayat Imam Muslim). Ataupun memanfaatkan waktu di sepertiga malam, yaitu waktu di mana Allah turun dan mengabulkan segala permintaan (terdapat dalam hadits riwayat Imam Bukhari).
B. Dengan ucapan-ucapan.
Artinya dengan cara membersihkan lisan dari hal-hal yang kotor, dan menggantinya dengan membaca Al Qur’an dan berdzikir.
C. Dengan Tempat yang penuh barakah.
Dengan cara mengunjungi tempat-tempat yang bisa menambah simpanan pahala, seperti mengunjungi Mesjid –bukan bermaksud mengusap-ngusap dindingnya!– agar memperbanyak ibadah di dalamnya sesuai dengan sunnah dan menjauhi bid’ah, seperti; pergi ke mesjid untuk shalat fardhu setelah bersuci di rumahnya, maka ia mendapat pahala seperti pahala haji dan umrah, ataupun pergi ke mesjid hendak bertasbih di waktu Dhuha, maka ia mendapat pahala seperti pahala umrah (terdapat dalam hadits riwayat Abu Daud. Derajatnya Hasan). Karena, “sebaik-baik tempat adalah mesjid-mesjidnya, dan seburuk-buruknya tempat adalah pasar-pasarnya” (HR. Ath Thabrani).
Ataupun kita mengunjungi mesjid Al Haram yang jika kita satu kali shalat di dalamnya, sebanding dengan 100.000 kali shalat di mesjid lain (terdapat dalam hadits riwayat Imam Bukhari), juga mengunjungi mesjid Nabawi yang jika satu kali melakukan Shalat di dalamnya, sebanding dengan 1000 kali shalat di mesjid lain, kecuali mesjid Al Haram (terdapat dalam hadits riwayat Imam Bukhari & Muslim), atau mengunjungi mesjid Quba, yang memiliki keutamaan jika kita shalat di sana setelah bersuci di rumahnya, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala umrah (terdapat dalam hadits riwayat Ibn Majah). Ataupun juga mengunjungi mesjid Al Aqsha yang telah Allah berkahi di sekelilingnya (QS. Al Isra: 1).
D. Dengan makanan yang penuh berkah.
Maksudnya dengan cara memakai dan atau memakan makanan yang penuh berkah, misalnya; dengan memakan buah Az Zaitun (QS. An Nûr: 35) sebagaimana Rasul bersabda “Makanlah Zaitun dan berminyaklah dengannya, karena ia itu diantara pohon-pohon yang diberkahi” (HR. Ahmad dan Hakim). Atau dengan meminum Habatus Sauda yaitu Obat segala penyakit kecuali maut (terdapat dalam hadits riwayat Imam Bukhari), memakan buah kurma, madu (QS. An Nahl: 69), ataupun meminum air Zamzam sebab, “(Zamzam itu) diberkahi, dan ia adalah makanan yang mengenyangkan” (HR. Muslim).
Metode Tabarrukan ini bisa kita pilih sesuai menurut kita mudah dan mampu untuk dipraktekan, sebab agama Islam menginginkan kemudahan dari pada kesusahan. Akhirnya, kita semua bisa melaksanakan Tabarrukan sesuai dengan yang kita mampu, tidak hanya Tabarrukan dengan cara mengumpulkan orang-orang lalu makan bersama. Dengan catatan Tabarrukan yang kita lakukan terhindar dari Ghulluw, Takabur dan menyakiti orang lain.

Lanjuuut......