Monday, November 10, 2008

Memahami Akar-Akar Konspirasi Liberalisme

Usia liberalisme bisa dikatakan seumur dengan usia moderanisme di Barat, karena gagasan ini muncul seiring meletusnya Renaissance di Barat. Renaissance menjadi landasan lajunya gaya berpikir liberal, karena manusia Barat waktu itu sudah jengah dengan hegemoni tokoh agama yang dengan sengaja memanipulasi agama demi hawa nafsu mereka. Walhasil, meletuslah Renaissance, berkibar bendera liberalisme dan luluh lantah kekuasaan agama.

Manusia Barat yang dahulu mesti tunduk di bawah kekuasaan tokoh agama, pasca Rennaissance mereka berbalik 180 derajat menentang bahkan melepaskan atribut-atribut keagamaan. Maka tidak sedikit revolusi ini melahirkan jiwa-jiwa yang apatis, skeptis bahkan atheis terhadap agama. Disamping melahirkan jiwa-jiwa tadi, ada juga sekelompok orang Barat yang bersikap depensife terhadap agama, sehingga sering merasa tidak nyaman dengan hal-hal yang berkaitan dengan agama. Meskipun mereka masih mempercayai agamanya. Kelompok ini yang kita kenal dengan sebutan Liberalis, yang nantinya mereka yang menelorkan teori sekulerisme.
Liberal diambil dari bahasa Latin yang berbunyi "Liberalis", yang berarti "Bebas/merdeka". Dalam kamus Oxford, Liberal bermakna terminology sebagai "Pikiran yang terbuka tidak fanatis, cenderung kearah perbaikan Demokrasi". Adapun dalam Mu'jam Al Falsafi Liberalisme berarti "Teori politik yang berkamuflase menjadi sebuah ideologi, yang bersemboyan bahwa kebebasan adalah asas bagi kemajuan. Menolak kuasa absolut, baik dari sisi duniawi ataupun religi".
Singkatnya, liberal adalah corak berpikir yang tidak mau tersentuh oleh nilai moral, sosial bahkan agama sekalipun. Lebih jauh lagi, paham liberal ini malahan yang nantinya bertujuan meramu ulang disiplin nilai moral, sosial, dan agama.
Seiring perputaran jaman, paham liberal masih dapat bertahan hingga saat ini, karena dengan paham ini telah membuahkan peradaban yang masih menjadi kiblatnya kebanyakan umat manusia. Muslimin yang dahulu menjadi representasi kegemilangan sebuah peradaban dan kiblatnya Barat, sekarang tengah mengalami ketertinggalan. Dan kondisi ini melahirkan jiwa-jiwa skeptis terhadap agamanya, sehingga mereka mengkambing hitamkan agama sebagai biang kemunduran umat Islam. Akhirnya, mereka mengikat lehernya dengan rantai yang rela digiring Barat kemanapun pergi, dan teori-teori liberal mereka usahakan agar merasuk ke dalam benak-benak umat Islam. Meskipun tidak dapat dipungkiri juga, bahwa usaha ini tidak menutup kemungkinan adanya konspirasi Barat yang berkeinginan menjauhkan Muslimin dari agamanya.
Terlepas dari siapa yang memasukan paham liberal dalam tubuh umat Islam, pastinya paham ini pelan tapi pasti sudah membuat pembusukan dari dalam tubuh Islam. Berbagai bidang ilmu-ilmu Islam mereka jamah dengan cara pandang liberalnya, dari fiqih, tafsir, lughah dll. Ranah-ranah yang semestinya mapan (Tsawabit) dan untouchable mereka paksa agar menjadi nisbi, Islam mereka perlakukan layaknya karet yang bebas ditarik sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Mereka tidak sadar bahwa alasan mendasar dari ketertinggalan umat Islam kali ini berbeda dengan alasan dark age-nya Barat. Ketertinggalan Barat dipicu karena ulah hawa nafsu para tokoh agama dengan merubah ajaran-ajaran agama kristen. Sedangkan umat Islam tidak pernah mengalami trauma sejarah sebagaimana Barat, disamping umat Islam masih memiliki agama yang murni, integral dan komprehensif.
Atau dalam kata lain, paham liberal tidak dibutuhkan umat Islam untuk membangkitkan kembali peradaban Islam, karena pada dasarnya umat Islam terbelakang karena meninggalkan agamanya. Sedangkan paham liberal malah akan memperparah sakitnya umat Islam, karena paham ini mengusung gagasan sekulerisme yang mereduksi agama sampai ke tahap personal, dan membuangnya jauh-jauh dari ranah sosial dan politik.
Umat Islam kali ini sedang mencari-cari jati dirinya, namun karena tidak menyadari bahwa jati diri mereka adalah Al Qur'an dan As Sunnah, akhirnya mereka banyak menshibghah dirinya dengan kebudayaan Barat. Maka tak ayal lagi, ketika kran Globalisasi dibuka, air peradaban Barat dengan mudah dapat menempati bak-bak peradaban yang kosong. Muslimin kali ini hanya dapat menjadi konsumen yang menguntungkan Barat sebagai pemasok Food, Fun, Fashion bahkan Thougt (Pemikiran). Seakan tidak ada satu negara Islampun yang tidak tersentuh produk Coca Cola, KFC, begitupun dengan paham liberal beserta sekulerisme dan demokrasinya.
Satu nubuwat Nabi Muhammad Saw. sekarang terbukti, bahwa semua bangsa akan memperebutkan umat Islam dengan menawarkan produksi-produksi mereka. Karena umat Islam kali ini dalam keadaan lemah dan Wahn. Rasul bersabda: "Hampir saja bangsa-bangsa akan memperbutkan kalian dari seluruh penjuru, seperti orang yang memperebutkan makanan." Para sahabat lantas bertanya: "Apakah kita saat itu sedikit, wahai Rasulullah?", Rasul menjawab: "Bahkan kalian saat itu berjumlah banyak. Namun kalian seperti buih di atas air, dan Allah Swt. mencabut rasa takut terhadap kalian, dalam dada-dada musuh kalian. Sementara Dia akan meletakan Wahn dalam hati kalian." Para sahabat kembali bertanya: "Apa Wahn itu ya Rasulallah?", Rasul menjawab: "Cinta dunia dan takut mati" (HR. Bukhari).
Disamping umat Islam sedang diperebutkan bangsa-bangsa, juga muslimin sendiri menyambut apa yang mereka sodorkan sejengkal demi sejengkal, bahkan kelubang biyawakpun diikutinya. Maka terbukti nubuwat Rasul yang kedua "Kalian nanti akan mengikuti ajaran (tawaran) umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehatsa demi sehatsa. Bahkan, kalau saja mereka masuk lubang biyawakpun, kalian akan mengikutinya", sahabat bertanya: "Wahai Rasulallah, apakah (umat yang dimaksud) adalah Yahudi dan Nashrani?", Rasul menjawab "Siapa lagi!" (HR. Bukhari & Muslim). Ternyata, Yahudi dan Nashranilah antek dibalik penyebaran paham sesat ke dalam tubuh umat Islam.
Pemerkosaan pemikiran yang dilakukan liberalis terhadap umat Islam
Karena liberalisme adalah paham yang berprinsipkan bebas dari kuasa absolut, baik dari kuasa dunia atau agama. Maka, mereka dengan seenaknya menafsirkan bahkan merekonstruksi nilai-nilai yang sudah ada dan mapan, baik nilai-nilai moral, sosial, politik dan agama. Padahal jika kita cermati, paham mereka itu sama sekali tidak bebas dari kuasa absolut. Karena ketika mereka meriset suatu masalah, mereka memakai metode dan cara pandang Barat. Sehingga tidak heran, jika terdapat banyak kesamaan apa yang ditawarkan liberalis muslim dengan liberalis Barat. Perbedaan hanya dalam pengambilan referensi penguat pendapat mereka, tapi ide dasarnya masih sama.
Diantara ide-ide yang dijejalkan para liberalis muslim, diantaranya:
1. Sekulerisme
Tentu, ide ini yang akan ditawarkan liberalis muslim, karena mereka berpendapat bahwa munculnya kebangkitan peradaban Barat disebabkan tertanamnya paham sekuler di Barat. Sudah pasti, untuk frame kebudayaan dan keagamaan Barat ide ini sangatlah cocok, karena agama kristen sendiri memberikan ruang seluas-luasnya bagi paham sekuler. Nabi Isa diutus Allah Swt. tidak untuk menjadi pemimpin negara, tapi diutus untuk menjadi pembawa risalah tauhid dan penuntun moral manusia. Namun akhirnya risalah kenabian ini disempurnakan oleh Nabi Muhammad Saw., sebagai pembawa risalah tauhid, pemimpin negara dan tauladan bagi moral manusia.
Maka aneh, jika umat Islam sendiri memperjuangkan agar ide sekulerisme dilaksanakan oleh umat Islam. Padahal Islam adalah agama yang Syumul mencakup semua lini kehidupan; dari tahap personal, sosial, politik, ekonomi, dlsb. Dan demokrasi yang dijadikan sistem pemerintahan di kebanyakan negara-negara Islam saat ini, merupakan hasil dari teori sekulernya orang-orang liberal. Meskipun ada sebagian praktek demokrasi yang sejalan dengan praktek pemerintahan Islam, namun landasan dasar utamanya berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, kedaulatan itu di tangan Allah Swt. sedangkan demokrasi kedaulatan ditangan rakyat yang tidak luput dari lemah dan salah.
2. Pluralisme agama
Ide ini sudah lama diusung para liberalis Barat dalam menghentikan pertikaian agama-agama, apalagi saat ini musuh dari globalisasi adalah agama, maka semakin giat para liberalis dalam menyebar paham pluralisme agamanya. Pluralisme agama berbeda makna dengan Pluralitas agama, karena yang terakhir ini kita umat Islam mengakui bahwa agama itu beragam, sebagaimana firman Allah Swt.: "Untuk tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan-jalan" (QS. Al Maidah:48). Namun aturan dan jalan (baca: agama) mana yang benar?. Pluralisme agama berpendapat bahwa semua agama adalah ciptaan Tuhan dan semua akan bertemu dalam satu titik Tuhan, karenanya semua agama adalah benar. Teori ini dinamakan Frithjof Schuon dengan "Religio Perenis" (agama abadi), dan diterjemahkan Seyyed Hossein Nasr (tokoh Liberalis) dengan "Al Hikmah Al Khalidah" yang dia simpulkan bahwa semua agama itu Hanif (Agama Nabi Ibrahim As.) sebagaimana dalam surat Ali Imran:67.
Adapun kita umat Islam yang mengakui pluralitas agama, tidak berarti meyakini juga bahwa semua agama itu benar. Sebab guna Allah Swt. menciptakan agama-agama –dalam lanjutan ayat tadi- adalah hendak menguji manusia, apakah kita akan mengikuti agama Islam yang hanya diterima Allah Swt., atau mengikuti agama-agama lain!. Sebagaimana Allah menciptakan Petunjuk dan Kesesatan, bukan berarti Allah meridhai kesesatan, tapi itu diciptakan agar bisa menguji manusia. Kebenaran ini akan tersingkap ketika manusia dikumpulkan oleh Allah, dan akan diberitakan bahwa dari semua agama-agama yang ada hanya Islam lah yang diterima Allah (dilihat QS. Ali Imran: 19&85). Sedangkan pengakuan liberalis bahwa semua agama itu Hanif, adalah pengakuan yang mengada-ada, karena Nabi Ibrahim tidak mengajarkan kemusyrikan (QS.Ali Imran: 67-68), dan hanya Islam yang mengajarkan ketauhidan (QS. Al ikhlash:1), tidak layaknya Kristen (agama bikinan Paulus) yang menyembah Yesus dan berakidah trinitas (QS. Al Maidah: 73), juga agama-agama lain selain Islampun demikian.
3. Hermeneutika
Hermeneutika diasosiasikan kepada Hermes, sang utusan Dewa untuk menerjemahkan dan menyampaikan pesan Dewata yang masih samar. Jadi tugas Hermeneutika adalah memahami teks sebagaimana dimaksudkan oleh penulis teks, dengan meneliti tata bahasa, retorika, logika, sejarah tradisi teks, penerjemahan dan kritik terhadap teks.
Hermeneutika memberikan ruang selebar-lebarnya bagi manusia dalam menafsirkan kitab, terutama dalam usaha mengkritisi teks, bahkan sampai menafikan kesucian dan kesakralan kitab. Makanya mereka berpendapat bahwa kitab (Al Qur'an) adalah kebenaran menurut ukuran manusia, artinya mereka mengira bahwa "kebenaran" manusia melebihi keabsolutan Al Aqur'an. Sampai-sampai karena memakai Hermeneutika ini, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa Al Qur'an adalah produk budaya (Muntaj Tsaqafi). Sedangkan budaya tidak akan lepas dari kesalahan, jadi konklusinya Al Qur'an menurut Nasr ada kemungkinan salah.
Adapun Tafsir yang dipakai ulama-ulama Islam dalam menafsirkan Al Qur'an, dapat membatasi akal manusia dari mengedepankan hawa nafsunya. Karena Tafsir selalu terkait erat dengan ayat-ayat dan Sunnah Rasul. Tapi hal ini bukan berarti Tafsir tidak bisa membaca konteks (tradisi) yang terus berkembang, karena Tafsir adalah upaya menghubungkan teks Al Qur'an -yang bersifat integral dan selalu relevan disetiap jaman- dengan realita yang ada.

No comments: