Monday, November 10, 2008

Taha Husein, Duri Dalam Daging

Kebebasan berpendapat merupakan anugerah Tuhan, karenanya tidak bisa seorangpun menentang sunatullah ini. Namun, jika kebebasan ini telah disusupi hawa nafsu, maka geraknya menjadi tidak sesuai dengan sunatullah. Isu-isu kaum liberalis yang selama ini mulai menjamur di dalam pemikiran Islam, bagaikan buah-buahan yang indah warnanya dan cukup mendatangkan selera. Pemalsuan dan konspirasi mereka kemas seindah mungkin dalam tulisan-tulisan, sehingga si korban tidak tahu bahwa dia sedang dikuliti secara perlahan.

Diantara mata rantai liberalis ini salah satunya adalah Dr. Taha Husein, yang menurut Dr. Ihsan Ath Tharablisi dia juga sebagai mata-mata Perancis, di samping istrinyapun seorang mata-mata zionisme. Taha dilahirkan di sebuah desa yang bernama Al Mania-Sha’idi pada tanggal 14 November 1889, meninggal pada 28 Oktober 1973. Ayahnya bernama Husein Ali seorang buruh di pabrik gula, namun beliau sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Taha kecil dimasukkan ke sebuah Kuttab, di sana dia bisa menghafal Al Qur’an pada usianya yg masih dini, juga menghafal Al Fiyah dan qai’dah-qaidah tajwid. Pada usianya yang ke-enam dia mengalami kebutaan, dan tidak sempat diobati karena kondisi keluarganya yang miskin.
Dengan kondisinya ini tidak sampai mematahkan obsesi dia dalam mencari ilmu, sehingga dia meneruskan study di Al Azhar disamping belajar bahasa dan sastra Arab pada Sayid Ali Al Marshafi. Pada tahun 1908 Taha sepenuhnya menjauh dari pendidikan Al Azhar dan pindah ke Universitas swasta Mesir. Di sini dia menemukan gaya pendidikan yg berbeda dari Al Azhar yg menurut dia sangat dogmatis. Lain halnya di universitas barunya, dia menemukan kebebasan berpikir dan kebebasan dalam meriset ilmu pengetahuan.
Di universitas barunya, mulai terbentuklah jiwa kritis bahkan radikal dalam berpikir. Karena kecerdasan otaknya, pada tanggal 5 Maret 1914 universitas tertarik untuk membiayai dia melanjutkan studinya di Sorbonne (Perancis). Disini dia bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Suzane -yg akhirnya disunting Taha pada tahun 1917- yang memiliki pengaruh besar pada cara pandang Taha Husein terhadap Islam. Tahun 1919 dia menulis desertasi doktoralnya dengan judul "Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu Khaldun” فلسفة ابن خلدون الاجتماعية.
Tahun 1919 kembali ke mesir dan menjadi Dosen fakultas sastra di universitasnya dahulu. Disini dia mulai merintis pemikirannya dengan cara mengajak pada kemerdekaan intelektual, yg menurutnya hal ini bisa diperoleh dengan memandang metodenya bangsa-bangsa yg telah maju. Sebagaimana dalam bukunya Al Ayyâm –telah diterjemahkan kedalam 10 bahasa- menggambarkan kebencian Taha terhadap fenomena sosial yg terjadi di Mesir saat itu, apatah lagi setelah ia mengetahui kehidupan sosial gaya barat.
Setelah diangkat menjadi dekan universitas sastra pada tahun 1930, lebih jelas lagi dia berpendapat “Kita mesti mengikuti perjalanan bangsa Eropa dan melangkah di rute mereka, dengan menjadikan mereka Andâdan dan partner dalam peradaban. Mengambil apa yang baik dan buruknya Eropa, manis dan pahitnya, yang dicintai dan dibenci, serta yang dipuji dan tak terpuji” (Mustaqbal Ats Tsaqâfah fî Mashri, h. 41). Dalam bukunya ini dia mengajak agar memboyong peradaban barat ke semua lini kehidupan Mesir dan memutuskan ikatan antara Mesir dengan Islam, menggembar-gemborkan nasionalisme dan sekularisme. Dia berpendapat bahwa Mesir lebih dekat dari kebudayaan Yunani, dan tidak ada kaitan erat dengan pemikiran Timur.
Pada tahun 1950-1952 Taha diangkat menjadi menteri Pendidikan. Semasa hidupnya dia telah menulis lebih dari 60 judul buku, dan mendapatkan Gelar Kehormatan dari lima Universitas luar negri diantaranya; Universitas Madrid, Lyon, Oxford.
Sebagaimana Descartes, Taha Husein memulai risetnya dengan meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan. Dahulu Descartes meragukan benda inderawi, ilmu pasti bahkan keberadaan dirinyapun diragukan (Prof. Ahmad Tafsir: Filsafat Umum h.132). Taha sendiri meragukan kevalidan Al Qur’an dan hal-hal lain yang sudah mapan dalam agama. Padahal “Al yaqînu lâ yazâlu bi Syak”!.
Dalam bukunya Fîsy Syi’ril Jâhily Taha membuat isu yang membuahkan pertentangan sengit dari para ulama Al Azhar, diantaranya dia mengatakan “Gambaran masa jahiliyah yang notabene dekat dengan Islam, tidak diberikan gambaran jelas dan kuat. Karena itu kita tidak mesti merujuk kepada Syai’r bahkan kepada Al Qur’an di satu sisi, dan sejarah serta hikayat-hikayat di sisi lain” (Taha Husein: h. 8)
Menurut Anwar Jundi, tujuan Taha di setiap buku dan ceramahnya adalah: “Menyusupkan metode filsafat keraguan ala Descartes ke dalam pemikiran Islam, dengan cara menguasai sejarah dan kritik sastra…mengkritik Al Qur’an dengan menuduhnya sebagai teks sastra, juga meragukan keberadaan” ( Al ‘Ashr tahta dlau’il Islâm, h. 30).
Dengan mengatakan bahwa Al qur’an adalah produk kebudayaan, berarti dia sudah menganggap bahwa Al Qur’an adalah syari’at yang bersifat lokal dan temporal. Karena itu secara tersirat dia sudah berpendapat bahwa Al Qur’an tidak lagi relevan untuk umat berperadaban sekarang.
Syaikh Mahmud Syakir menyebutkan “Klaim Taha Husein tentang kaidah asas dalam metode Descartes dengan mengajak para periset menanggalkan setiap apa yg telah diketahui sebelumnya. Dengan alasan agar risetnya diterima oleh pikiran yang sama sekali kosong. Klaim semua ini tidak memiliki asal (dalam Islam), selanjutnya menjadi istilah-istilah bohong yang disucikan bahkan keluar dari lingkaran kemanusiaan” .
Masih dalam Fisy Syi’ril Jâhily Taha menulis “Dalam Taurat menceritakan kepada kita tentang kisah Ibrahim dan Ismail, begitupun halnya dalam Al Qur’an. Akan tetapi terteranya kedua nama ini dalam Tauret dan Al Qur’an tidak cukup untuk dijadikan bukti adanya sejarah mereka, melihat bukti yg disodorkan kepada kita tentang hijrahnya Ismail Ibn Ibrahim ke Makkah dan membangun bangsa Arab. Kami anggap kisah ini merupakan suatu kemustahilan dalam membuktikan hubungan antara Yahudi dan Arab di satu sisi, Islam dan Yahudi serta Al Qur’an dan Tauret di sisi lainnya”. Lagi-lagi Taha meragukan kevalidan Al Qur’an, kali ini dalam menceritakan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, bahkan dia meragukan keberadaan kedua Nabi tersebut.
Kebohongan tidak akan selamanya berdiri, bahkan teman dekatnyapun –Muhammad Husein Haikal- mengkritiknya “Yang berbahaya bukanlah pada sastranya saja, tetapi pada pemikiran Islam seluruhnya. Karena dia kembali menanam hikayat-hikayat paganisme dan Israiliyat dalam sirah Nabi Saw., yang hal ini telah dibersihkan dan dibebaskan oleh para ulama muslim dari hal tersebut” (Anwar Jundi: Taha Husein fî mîzanil Ulamâ, h. 236).
Akhirnya, saya mengajak agar menjadi mentari pagi yang muncul dan menutup gelapnya malam. Karena kebathilan tidak akan runtuh jika kebenaran tidak muncul (QS: Al Isrâ:81).

No comments: